Cerita ngentot dewasa fresh banget nih buat kalian penggemar lintascerita.com mudah2an bisa menghibur . cerita ngentot kali ini tentang seorang tante namanya Yeni . ayo di baca ceritanya
dan jangan lupa koleksi cerita sex lainya di lintascerita
Cerita dewasa ngentot - Selingkuh Dengan Atasan Cerita ngentot memek di tempat fitnes Cerita Dewasa Terbaru cerita ngentot
Langsung aja deh dimulai cerita ngentot tante Yeni
Selasai mandi hari sudah hampir gelap. Di ruang keluarga Tante sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.
âSenamnya di mana Tante ?â Aku coba membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.
âDekat, di Tebet Timur Dalamâ. Malam ini Tante mengenakan daster pendek tak berlengan, ada kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke bawah.
âTumben, kamu tidur siangâ
âIya Tante, tadi main voli di situâ jawabku tangkas.
âKamu suka main voli ?â
âDi Kampung saya sering olah-raga Tanteâ Aku mulai berani memandangnya langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya putih banget!
âPantesan badanmu bagusâ Senang juga aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.
âAh, Kalau ini mungkin saya dari kecil kerja keras di kebun, Tanteâ Wow, buah putih itu mengintip di antara kancing pertama dan kedua di tengah dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.
âKerja apa di kebun ?â
âMengolah tanah, menanam, memupuk, panenâ Buah dada itu rasanya mau meledak keluar.
âApa saja yang kamu tanam ?â tanyanya lagi sambil mengubah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.
Kancing terakhir daster itu sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya menaiki pahanya yang lain, ujung kain daster itu tidak âikutâ, jadi 70 % paha Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin. Yang tadi bergerak di celanaku, berangsur membesar.
âMacam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomatâ Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya.
âKalau kamu mau makan, duluan ajaâ
âNanti aja Tante, nunggu Oomâ Aku memang belum lapar. Adikku mungkin yang âlaparâ
âOom tadi nelepon ada acara makan malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malamâ
âSaya belum laparâ jawabku supaya aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.
âKamu betah di sini ?â Ia membungkuk memijit-mijit kakinya. Betisnya ituâ¦
âKerasan sekali, Tante. Cuman saya banyak waktu luang Tante, biasa kerja di kampung, sih. Kalau ada yang bisa saya bantu Tante, saya siapâ
âYa, kamu biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugasâ
âKenapa kakinya Tante ?â Sekedar ada alasan buat menikmati betisnya.
âPegel, tadi senamnya habis-habisanâ
Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya terdapat âcelahâ. Ada yang sempit, ada yang lebar, ada yang tertutup. Celah pertama, lebar karena busungan dadanya, menyuguhkan bagian kanan atas buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan kutang bagian bawah. Celah ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya. Celah berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam Tante warna merah jambu. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi.
âMau bantu Tante sekarang ?â
âKapan saja saya siapâ
âBetul ?â
âKewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apaâ
âPijit kaki Tante, mau ?â
Hah ? Aku tak menyangka diberi tugas mendebarkan ini
âBiasanya sama Si Mar, tapi dia lagi engga adaâ
âTapi saya engga bisa mijit Tante, cuma sekali saya pernah mijit kaki teman yang keseleo karena main bolaâ Aku berharap ia jangan membatalkan perintahnya.
âEngga apa-apa. Tante ambil bantal duluâ Goyang pinggulnya ituâ¦
Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir seluruh tubuh Tante pernah kulihat, tapi baru inilah aku merasakan mulus kulitnya. Mataku ke betis lainnya mengamati bulu-bulu halus.
âBegini Tante, kurang keras engga ?â
âCukup segitu aja, enak kokâ
Tangan memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat itu bulat menjulang, sampai di pinggang turun menukik, di punggung mendaki lagi. Indah. Kakinya sedikit membuka, memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya. Tanganku pindah ke betis kanannya aku menggeser dudukku ke tengah, dan..terobosan mataku ke celah paha sampai ke celana dalam merah jambu itu. Huuuh, sekarang aku betul-betul keras.
âAahâ teriaknya pelan ketika tanganku menjamah ke belakang lututnya.
âMaaf Tanteâ Ngentot
âEngga apa-apa. Jangan di situ, sakit. Ke atas sajaâ
Ke Atas ? Berarti ke pahanya ? Apa tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke paha belakangnya.
Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit Tante memang istimewa. Kalau ada lalat hinggap di paha itu, mungkin tergelincir karena licin!
Aku mulai tak tenang. Nafas mulai tersengal, entah karena mijit atau terangsang, atau keduanya. Aku tak hanya memijit, terkadang mengelusnya, habis tak tahan. Tapi Tante diam saja.
Kedua paha yang diluar, yang tak tertutup daster selesai kupijit. Entah karena aku sudah âtinggiâ atau aku mulai nakal, tanganku terus ke atas menerobos dasternya.
âEeehâ desahnya pelan. Hanya mendesah, tidak protes!
Kedua tanganku ada di paha kirinya terus memijit. Kenyal, padat. Tepi dasternya dengan sendirinya terangkat karena gerakan pijitanku. Kini seluruh paha kirinya terbuka gamblang, bahkan sebagian pantatnya yang melambung itu tampak. Pindah ke paha kanan aku tak ragu-ragu lagi menyingkap dasternya.
âEnak To, kamu pintar juga memijitâ
Aku hampir saja berkomentar :âPaha Tante indah sekaliâ. Untung aku masih bisa menahan diri. Terus memijit, sekali-kali mengelus.
âKe atas lagi Toâ suaranya jadi serak.
Ini yang kuimpikan! Sudah lama aku ingin meremas pantat yang menonjol indah ke belakang itu, kini aku disuruh memijitnya! Dengan senang hati Tante!
Aku betul-betul meremas kedua gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya. Dengan gemas malah! Keras dan padat.
Ah, Tante. Tante tidak tahu dengan begini justru menyiksa saya! kataku dalam hati. Rasanya aku ingin menubruk, menindihkan kelaminku yang keras ini ke dua gundukan itu. Pasti lebih nikmat dibandingkan ketika memeluk tubuh mbak Mar dari belakang.
âIh, geli To. Udah ah, jangan di situ terusâ ujarnya menggelinjang kegelian. Barusan aku memang meremas pinggir pinggulnya, dengan sengaja!
âCape, To ?â tanyanya lagi.
âSama sekali engga, Tanteâ jawabku cepat, khawatir saat menyenangkan ini berakhir.
âBener nih ? Kalau masih mau terus, sekarang punggung, ya ?â. Aha, âdaerah jamahanâ baru!
Bahunya kanan dan kiri kupencet.
âEehâ desahnya pelan.
Turun ke sekitar kedua tulang belikat. Lagi-lagi melenguh. Daster tak berlengan ini menampakkan keteknya yang licin tak berbulu. Rajin bercukur, mungkin. Ah, di bawah ketek itu ada pinggiran buah putih. Dada busungnya tergencet, jadi buah itu âterbuangâ ke samping. Nakalku kambuh. Ketika beroperasi di bawah belikat, tanganku bergerak ke samping.
Jari-jariku menyentuh âtumpahanâ buah itu. Tidak langsung sih, masih ada lapisan kain daster dan kutang, tapi kenyalnya buah itu terasa. Punggungnya sedikit berguncang, aku makin terangsang.
Ke bawah lagi, aku menelusuri pinggangnya.
âCukup, To..â Kedua tangannya lurus ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-engah.
âDepannya Tante ?â usulku nakal. Lancang benar kau To. Tante sampai menoleh melihatku, kaget barangkali atas usulku yang berani itu.
âKaki depannya âkan belum Tanteâ aku cepat-cepat meralat usulku. Takut dikiranya aku ingin memijit âdepannya punggungâ yang artinya buah dada!
âBoleh aja kalau kamu engga capeâ. Ya jelas engga dong! Tante berbalik terlentang. Sekejap aku sempat menangkap guncangan dadanya ketika ia berbalik. Wow! Guncangan tadi menunjukkan âeksistensiâ kemolekkan buah dadanya! Aduuh, bagaimana aku bisa bertahan nih ? Tubuh molek terlentang dekat di depanku. Ia cepat menarik dasternya ke bawah, sebagai reaksi atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang tiba-tiba terbuka, karena gerakan berbalik tadi. Silakan ditutup saja Tante, toh aku sudah tahu apa yang ada dibaliknya, rambut-rambut halus agak lurus, hitam, mengkilat, dan lebat. Lagi pula aku masih bisa menikmati âsisanyaâ: sepasang paha dan kaki indah! Aku mulai memijit tulang keringnya. Singkat saja karena aku ingin cepat-cepat sampai ke atas, ke paha.
Lutut aku lompati, takut kalau ia kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan gemas.
âIih, geliâ. Aku tak peduli, terus meremas. Paha selesai, untuk mencapai paha atas aku ragu-ragu, disingkap atau jangan. Singkap ? Jangan! Ada akal, diurut saja. Mulai dari lutut tanganku mengurut ke atas, menerobos daster sampai pangkal paha.
âAaaah, Tooo â¦.â Biar saja. Kulihat wajahnya, matanya terpejam. Aku makin bebas.
Dengan sendirinya tepi daster itu terangkat karena terdorong tanganku. Samar-samar ada bayangan hitam di celana dalam tipis itu. Jelas rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut lagi ke atas. Aaah lagi. Dengan cara begini, sah-sah saja kalau jempol tanganku menyentuh selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi untuk meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah! Kenapa basah ? Ngompol ? Aku tidak mengerti.
âTo â¦â panggilnya tiba-tiba. Aku memandangnya, kedua tanganku berhenti di pangkal pahanya. Matanya sayu menantang mataku, nafasnya memburu, dadanya naik-turun.
âYa, Tanteâ mendadak suaraku serak. Dia tak menyahut, matanya tetap memandangiku, setengah tertutup. Ada apa nih ? Apakah Tante â¦.. ? Ah, mana mungkin. Kalau Tante terrangsang, mungkin saja, tapi kalau mengajak ? Jangan terlalu berharap, To!
Aku meneruskan pekerjaanku. Kini tak memijit lagi, tapi menelusuri lengkungan pinggulnya yang indah itu, membelai. Habis tak tahan.
âUuuuhâ desahnya lagi menanggapi kenakalanku. Keterlaluan aku sekarang, kedua tanganku ada di balik dasternya, mengelus mengikuti lengkungan samping pinggul.
âToo â¦. â panggilnya lagi. Kulepas tanganku, kudekati wajahnya dengan merangkak di atas tubuhnya bertumpu pada kedua lutut dan telapak tanganku, tidak menindihnya.
âAda apa, Tanteâ panggilku mesra. Mukaku sudah dekat dengan wajahnya.
Matanya kemudian terpejam, mulut setengah terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, sudah kepalang, kucium bibir Tante perlahan.
âEhhmmmmâ Tante tidak menolak, bahkan menyambut ciumanku. Tangan kirinya memeluk punggungku dan tangan kanannya di belakang kepalaku. Nafasnya terdengar memburu. Aku tidak lagi bertumpu pada lututku, tubuhku menindih tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya. Aku menggeser tubuhku sehingga tepat di antara pahanya yang baru saja ia buka. Kelaminku yang keras tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya!
âEhhhmmmmmmâ reaksinya atas aksiku.
Kami saling bermain lidah. Sedapnya!
Aku terengah-engah.
Dia tersengal-sengal.
Tangan kananku meremas dada kirinya. Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku melayang.
He!, ini Tantemu, isteri Oommu!
Iya, benar. Memangnya kenapa.
Mengapa kamu cium, kamu remas dadanya.
Habis enak, dan ia tak menolak.
Dua kancing dasternya telah kulepas, tanganku menyusup ke balik kutangnya.
Selain besar, padat, dan kenyal, ternyata juga halus dan hangat!
Tiba-tiba Tante melepas ciumanku.
âJangan di sini, Toâ katanya terputus-putus oleh nafasnya.
Tanpa menjawab aku mengangkat tubuhnya, kubopong ia ke kamarnya. âUuuuuhhhâ lenguhnya lagi.
âKe kamarmu sajaâ
Sebelum sampai ke dipanku, Tante minta turun. Berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menahan dadaku.
âKunci dulu pintunyaâ Okey, beres.
Kulepas seluruh kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan celana dalam. Buah dada itu serasa mau meledak mendesak kutangnya!
Kupeluk lagi dia. Dadanya merapat di dadaku.
âTooo, hhehhhhhhhâ katanya gemas seperti menahan sesuatu.
Kami berciuman lagi. Main lidah lagi.
Tangannya menyusup ke celanaku, meremas-remas kelaminku di balik celana.
âEehhmmmmmmâ dengusnya
Dengan kesulitan ia membuka ikat pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan mengeluarkan âisinyaâ
âEehhhâ Ia melepas ciuman, melihat ke bawah.
âAda apa Tanteâ Tanyaku disela-sela dengus nafasku.
âBesar sekaliâ
Ia mempermainkan penisku. Menggenggam, meremas.
Geli, geliii sekali.
Stop Tante, jangan sampai keluar. Aku ingin pengalaman baru, Tante. Ingin memasuki kelaminmu..sekarang!
Kutarik tangannya dari penisku. Untung Tante menurut. Aku tak jadi âkeluarâ
Kulepas tali kutangnya, tapi yang belakang susah dilepas. Tante membantu. Buah dada itu terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat aku menikmat buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan kananku, dituntunnya menyelip ke celana dalamnya. Dibawah rambut-rambut itu terasa basah. Diajarinya aku bagaimana jariku harus bermain di sana : menggesek-gesek antara benjolan dan pintu basah itu.
âUuuuuuhhhhhh, Tooo..â
Dilepasnya bajuku, singletku, celanaku luar dalam. Aku telanjang bulat. Kutarik juga celana dalamnya. Ia telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang itu ramping, perut itu rata, ke bawah melebar lengkungannya indah. Rambut-rambut halus itu menggemaskan, diapit oleh sepasang paha yang nyaris bulat. Seluruhnya dibalut kulit yang putih dan mulusnya bukan main!.
Ditariknya aku ke dipan. Ia merebahkan diri. Kakinya ditekuk lalu dibuka lebar. Dipegangnya kelaminku, ditariknya, ditempelkannya di selangkangan. Rasanya terlalu ke bawah. Ah, dia âkan yang lebih tahu. Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku. Ditariknya aku mendekat tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung penisku.
Tangannya memegang penisku lagi. Belum masuk ternyata. Disapu-sapukannya kepala penisku di pintu itu. Sementara ia menggoyang pantatnya. Geliii, Tante. Aku manut saja seperti kerbau dicucuk hidung. Memang belum pengalaman! Didorongnya lagi pantatku. Meleset!
Pernah kupikir waktu pertama kali aku melihat kelamin Tante beberapa hari lalu, mana cukup lubang sesempit itu menampung kelaminku yang lagi tegang ?
Tante membuka pahanya lebih lebar lagi, mengarahkan penisku lagi, dan aku sekarang yang mendorong. Kepalanya sudah separoh tenggelam, tapi macet!
âKelaminmu besar, sih!âkeluhnya. Padahal barusan ia mengaguminya.
Ia menggoyang pantatnya danâ¦bless. Masuk separoh.
âAaaaahhhâ teriak kami berbarengan. Terasa ada sesuatu yang menjepit penisku, hangat, enak!
Pantatnya bergoyang lagi, tumitnya mendorong pantatku.
Blesss..masuk lagi. Makin hangat, makin sedap, dan geli.
Goyang lagi, aku dorong sekarang. Masuk semuanya
Seedaaaaaaaaap!
Tante bergoyang.
Nikmaaaaaaaat!
Tante menjepit.
Geliiiiiiiiiiiiiiii!
Kutarik pelan. Terasa gesekan, enak. Ya, digesek begini enak. Tarik sedikit lagi, dan kudorong lagi.
âIdiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Tooâ Tante berteriak, agak keras.
Geli di ujung sana. Tariik, dorooong
Makin geli..
Geli sekaliâ¦
Tak tahaaaaaannâ¦
âTahan dulu, Toâ
Tak mungkin, sudah geli sekali.lalu..
Aku melambung, melayang, melepas..
âAaaaaahhhhhhhâ teriakku. Nikmatnya sampai ke ubun-ubun.
Mengejang, melepas lagi, berdenyut, enak, melepas lagi, nikmat sekali..!
âGenjot lagi, Toâ teriaknya
Mana bisa.
âAyo, Toâ
Aku sudah selesai!
Tante masih menggoyang
Aku ikut saja, pasif
âTooooo, ..â
Tante gelisah, goyangnya tak kubalas. Aku sudah selesai!
âEeeeeeeeehhâ keluhnya, sepertinya kecewa.
Bergerak-gerak tak karuan, menendang, menggeliat, gelisah..
Penisku mulai menurun, di dalam sana.
Tante berangsur diam, lalu sama sekali diam, kecewa.
Tinggal aku yang bingung.
Beberapa menit yang lalu aku mengalami peristiwa yang luar biasa, yang baru kali ini aku melakukan. Baru kali ini pula aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan berhubungan kelamin.
Nikmatnya susah digambarkan.
Hubungan kelamin antara pria yang mulai menginjak dewasa dengan wanita dewasa muda.
Sama-sama diinginkan oleh keduanya.
Keduanya yang memulai.
Berdua pula yang melanjutkan, keterusan danâ¦kepuasan.
Kepuasan ? Aku memang puas sekali, tapi Tante ?
Itulah masalahnya sekarang.
Aku menangkap wajah kecewa pada Tante.
Perilakunya yang gelisah juga menandakan itu.
Aku jadi merasa bersalah. Aku egois.
Aku mendapatkan kenikmatan luar biasa sementara aku tak mampu memberi kepuasan kepada âlawan mainkuâ, Tante Yani.
Terlihat tadi, ia ingin terus sementara aku sudah selesai.
Aku bingung bagaimana mengatasi kebisuan ini.
Aku masih menindih tubuhnya. Penisku masih di dalam.
Buah dadanya masih terasa kencang mengganjal dadaku.
Pandangannya lurus ke atas melihat plafon.
Aku harus ambil inisiatif.
Kucium pipinya mesra, penuh perasaan.
âMaafkan saya, Tanteâ
Tante menoleh, tersenyum dan balas mencium pipiku.
Sementara aku agak lega, Tante tak marah.
âKamu engga perlu minta maaf, Toâ
âHarus Tante, saya tadi nikmat sekali, sebaliknya Tante belum merasakan. Saya engga mampu, Tante. Saya belum pengalaman Tante. Baru kali ini saya melakukan ituâ
âBetul ? Baru pertama kamu melakukan ?â
âSungguh Tanteâ
âEngga apa-apa, To. Tante bisa mengerti. Kamu bukannya tidak mampu. Hanya karena belum biasa saja. Syukurlah kalau kamu tadi bisa menikmatiâ
âNikmaaat sekali, Tanteâ
Tante diam lagi, mengelus-elus punggungku. Nyaman sekali aku seperti ini.
âTo â panggilnya.
âYa, Tanteâ
âIni rahasia kita berdua saja ya ? Tante minta kamu jangan katakan hal ini pada siapapunâ
âTentu Tante, tadinya sayapun mau bilang begituâ Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak aku jadi cemas.
âTante â
âHhmmâ
âGimana kalau Tante nanti ..â Aku tak berani meneruskan.
âNanti apa ?â
âAkibat perbuatan tadi, lalu Tante ..â
âHamil ?â potongnya.
âYa â
âEngga usah kamu pikirkan. Tante sudah jaga-jagaâ
âSaya engga mengerti Tanteâ
âTo, lain kali saja ya Tante jelasin. Sekarang Tante harus mandi, Oommu âkan sebentar lagi datangâ
Ah, celaka. Sampai lupa waktu. Aku bangkit hendak mencabut.
âPelan-pelan Toâ katanya sambil menyeringai, lalu matanya terpejam
âEeeeeehhhâ desahnya hampir tak terdengar, ketika aku mencabut kelaminku.
Kubantu ia mengenakan kutangnya. Buah dada itu belum sempat aku nikmati. Lain kali pasti!
âTante â aku memanggil ketika ia sudah rapi kembali.
Kupeluk ia erat sekali, kubisikkan di dekat kupingnya
âTerima kasih, Tanteâ lalu kucium pipinya.
âYa â jawabnya singkat.
âSana mandi, cuci yang bersih niihâ katanya lagi sambil menggenggam penisku waktu bilang âniihâ
Ooohhh, nikmatnya hari ini aku.
Malam ini pertama kali aku ciuman dengan nikmat, pacaran sampai âketerusanâ. Pertama kali penisku memasuki kelamin wanita. Pertama kali aku menumpahkan âairâ ku ke dalam tubuh wanita, tidak ke perut atau ke lantai.
Lebih istimewa lagi, wanita itu adalah Tante Yani.
Wanita dengan tubuh yang luar biasa.
Bentuknya, potongannya, halusnya, padatnya, putihnya, bulunyaâ¦..
Padahal wanita itu sudah 26 tahun, sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi lebih padat dari Si Ani yang 17 tahun, lebih manis dari Si Yuli yang sepantaranku, lebih indah dari Si Rika yang seumurku.
Yang masih mengganjal, wanita itu Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku meniduri isteri Oomku! Aku mendapatkan pengalaman baru dari isterinya! Aku memperoleh kenikmatan dari meniduri isterinya. Isteri orang yang membiayai sekolahku, yang memberiku makan dan tempat tinggal!
Betapa jahatnya aku. Betapa kurangajarnya aku.
Aku sekarang jadi pengkhianat!
Mengkhianati adik misan ayahku!
Tapi, keliru kalau semua kesalahan ditimpakan kepadaku.
Siapa yang menyuruh memijat ?
Okey, seharusnya memijat saja, kenapa pakai mengelus ?
Pakai meremas pantat ? Habis, siapa yang tahan ? Aku masih 16 tahun, masih sangat muda, tapi sudah matang secara seksual, mudah terrangsang.
Tante sendiri, kenapa tidak menolak ? Bisa saja ia menempelengku ketika aku mau mencium bibirnya di karpet itu. Bisa saja ia menolak waktu aku membopongnya ke kamarku. Dan aku, bisa saja memberontak waktu ia merogoh celana dalamku, waktu ia menggenggam kelaminku dan diarahkan ke kelaminnyaâ¦.
Kesimpulannya : salah kami berdua!
Tapi, aku ingin mengulangi â¦â¦â¦.!
***
Paginya, kami sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani menatap mata Oom waktu kami berbicara. Mungkin karena ada perasaan bersalah. Sedangkan Tante, biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada pembicaraan penting waktu makan.
Tante bangkit menuangkan minuman buat Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi ingat peristiwa semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang ada di depanku ini, yang sekarang tertutup rapat, sudah pernah aku tiduri. Aku ngaceng lagi..
Susah sekali aku berkonsentrasi menerima pelajaran hari ini. Pikiranku ke rumah terus, ke Tante. Bagaimana ia âmenuntunkuâ masuk. Bagaimana aku mulai belajar âmenggesekâ, terus keenakkan. Aku ingin lagiâ¦!
Tante bagaimana ya, apakah ia ingin lagi ? Aku meragukannya, mengingat semalam ia tidak puas. Jangan-jangan ia kapok. Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya sedikit lebih mesra kepadaku. Memangnya kamu ini siapa.
Lebih baik begitu, wajar saja, âkan ada suaminya.
***
Dua hari kemudian ketika aku pulang sekolah, kulihat ada mobil Oom di garasi. Apakah Oom Ton tak ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom tahu kalau aku ..
Ah, jangan berpikir begitu. Dua hari terakhir ini sikap Oom kepadaku tak ada perubahan apa-apa. Sikap Tante juga wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan. Setiap hari ketemu Tante. Aku selalu membayangkan âdalamâ-nya, walau pakaian Tante tertutup rapat. Lalu, terbayang, aku sudah pernah menjamah tubuh itu, dan terangsang lagi.
Selama dua hari ini aku betul-betul tersiksa. Terlihat paha Tante yang sedikit tersingkap saja, aku langsung ânaikâ. Ooh..! Aku ingin lagiiiiii.
Siang ini aku makan sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom pasti ada di dalam, mobilnya ada. Tante juga tentunya. Mungkin mereka sedang â¦? Siang-siang ? Biar saja, toh suami-isteri. Sekejap ada rasa tak nyaman. Tanteku sedang ditiduri suaminyaâ¦! Aku iri! Memangnya kamu siapa ?
Baru saja aku selesai menyantap sendok terakhir makananku, kemudian mengangkat gelas, ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju tidur. Aku terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas berhenti, belum sempat minum, terpesona oleh Tante dengan baju tidurnya. Kelihatan ia baru bangun tidur, melihatku.
âSudah pulang, Toâ
âUdah dari tadi Tanteâ
Ia tutup pintu kamarnya kembali lalu mendekatiku, dan tiba-tiba mencium pipiku erat, lenganku merasakan lembutnya sesuatu yang menandakan Tante tak memakai kutang.
Hampir saja aku menumpahkan air minum karena kaget.
âAda kabar gembira.âkatanya berbisik. Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante sudah beranjak ke belakang meninggalkanku.
Aku jadi penasaran. Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar gembira apa ?
Ketika Ia kembali lagi, aku berdiri untuk memuaskan rasa penasaran tadi.
Tante menempelkan telunjuknya ke mulut sambil matanya melirik ke kamar. Aku mengerti isyarat ini. Jangan ganggu, ada suaminya.
Sejam kemudian kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bersama Tante. Oom Ton berpakaian rapi berdasi, seperti hendak ke kantor, sedangkan Tante mengenakan daster pendek tak berlengan berkancing tengah, daster kesukaanku. Terlihat segar, baru saja mandi, mungkin.
âTartoâ Oom Ton memanggilku.
âYa, Oomâ
âOom mau ke Bandung, dua hari. Kamu jaga rumah ya ?â
Ini rupanya kabar gembira itu!
âBaik, Oom, kapan Oom berangkat ?â
âSebentar lagi, jam tigaâ
Dua hari Oom tak ada di rumah, tentunya dua malam juga. Dua malam aku menjaga rumah, bersama Tante.
Dua malam bersama Tante ? Bukan main!. Eit, jangan berharap dulu, ya. âKan tadi Ia bilang kabar gembira ?
Kok kamu yakin kabar gembiranya Tante adalah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok pasti ya!
Aku melirik Tante, Ia biasa-biasa saja.
Pak Dadan datang membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.
âPapa berangkat ya, Maâ
âYa, Pa, hati-hati di jalan, ya ?â
âMama juga hati-hati di rumahâ
Oom mencium pipi Tante, lalu menciumi Si Luki.
âJaga baik-baik, ya Toâ
âYa, Oomâ
Seisi rumah mengantar Oom sampai depan pintu pagar, melambai sampai mobilnya berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.
Semuanya masuk ke rumah kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh berharap dan kepalaku penuh rencana.
Luki dibawa pengasuhnya ke rumah sebelah. Mbak meneruskan pekerjaannya di belakang. Aman. Tinggal aku dan Tante. Kuberanikan diriku. Kupeluk Tante dari belakang. Betul âkan, Tante tak memakai kutang. Wah, sudah lama sekali aku tak menyentuhnya.
Tante sedikit kaget, lalu berbalik membalas pelukanku. Cuma sebentar, melepaskan diri.
âSabar, dong Toâ
âTante â¦â Serak suaraku.
âNanti malam saja â
Aha, rencana di kepalaku bisa terlaksana malam ini.
Kami duduk berdampingan di sofa, sedikit berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.
Aku tak tahan lagi, penisku sudah tegang dari tadi. Sekarang baru jam setengah empat sore. Berapa jam lagi aku mesti menunggu ? Oh, lama sekali.
Tante, tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menunggu.
Kulihat sekeliling meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika di belakang. Aman!
Kupegang tangan Tante yang sedang ada di pahanya. Dengan begini aku bisa meremas-remas tangannya sambil merasakan lembutnya paha. Ia sesekali membalas remasanku, tetap membaca.
Ditariknya tangannya untuk membuka halaman buku bacaannya, tanganku âtertinggalâ di pahanya. Kesempatan.
Kuusap lembut pahanya. Paha itu masih seperti yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu lembut. Masih tetap membaca.
Aku makin berani, tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya. Kuusap celana dalamnya. Nafasnya mulai terdengar meningkat âvolumeânya.
Diletakkannya buku itu sambil menghela nafas panjang.
âTo., kamu engga sabaran, ya ?â katanya sambil memegang tanganku di bawah sana.
âMaafkan saya Tante, saya.. saya ..engga kuat lagi Tante, saya ingin lagi, Tanteâ Kataku terputus-putus menahan birahi yang mendesak. Kelaminku juga mendesak.
âMasih sore, Toâ
âTolonglah., Tante, saya membayangkan terus setiap ..hariâ kataku setengah memohon. Aku yakin Tantepun sebenarnya telah terangsang, terlihat dari nafasnya dan aku merasakan basah di celananya. Aku sudah sampai pada titik yang tak mungkin surut kembali. Situasi sekeliling aman. Jadi, apa lagi selain berlanjut ?
âSaya mohon, Tanteâ kini aku betul-betul memohon.
Ditariknya tanganku dari paha, lalu dituntun ke dadanya. Permohonanku diterima.
Kuremas buah dada itu yang hanya ditutupi selembar kain daster.
âEeeeeeehhhâ desahnya.
Tiga hari lalu, waktu aku pertama kali meniduri Tante (memang baru pertama kali aku berhubungan sex), aku belum sempat menikmati buah dada ini. Waktu itu kami sudah sama-sama terangsang sehabis aku memijatnya. Aku baru sempat meremasnya, itupun dibalik kutang. Lalu ketika kutangnya sudah terbuka, Tante sudah keburu menuntun kelaminku memasukinya.
Sekaranglah kesempatan untuk menikmati dada itu.
Kubuka kancing dasternya, satu, dua, tiga.
Dada itu mengagumkan.
Putih, besar, menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya, putingnya kecil agak panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.
Aku berlutut di depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang seperti parit kecil di antara dua bukit.
Halusnya buah itu dapat kurasakan di kedua belah pipiku.
Mulutku bergerak ke kiri, ke dada bagian atas, terus turun, kutelusuri permukaan bukit halus itu dengan bibir dan lidahku. Sementara tangan kananku mengusapi buah kirinya. Luar biasa, kulit itu haluuus sekali! Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku. Penelusuranku berakhir di puncaknya. Kumasukkan putting itu kemulutku, kukemot.
âAaaaaaaahhhâ lenguhnya pelan sekali.
Tangannya menekan kepalaku.
Kukemot lagi, kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting itu mengeras. Puting satunya lagi juga mengeras, terasa di antara telunjuk dan ibujari tangan kananku.
Ada kesamaan gerak antara mulut dan tangan kananku. Kalau mulutku mengulum puting, jari-jariku memilin puting sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi seluruh permukaan buah yang sangat halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh permukaan dada itu demikian halus, sehingga ada sedikit yang tak halus di sebelah puting agak ke bawah menarik perhatianku.
Kulepaskan muluku dari dadanya, ingin memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante ada bercak merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat tadi siang waktu makan. Ini pasti âhasil kerjaâ Oom Ton di kamar yang terkunci tadi..
Akupun ingin. Betapa enaknya menggigit buah kenyal ini.
Dada kanan bagianku. Kucium puting itu kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.
Tiba-tiba Tante mendorong kepalaku.
âJangan, To. Kamu..mikir, dongâ katanya sambil terengah-engah.
Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit tentu nanti berbekas, jelas pemilik sahnya, Oom Ton, akan curiga!
âMaafkan saya Tante, habis gemas sih.â
âYahhh.engga apa-apa. Kamu harus ingat, ini rahasia kita sajaâ
Dipegangnya dadanya sendiri lalu disodorkannya ke mulutku. Gantian, sekarang dada kiri dengan mulutku, yang kanan dengan tangan kirikuâ¦.
Sudah saatnya untuk pindah ke kamar.
Aku bangkit berdiri. Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah dasternya sudah semuanya terlepas, menyibak kesamping, tinggal celana dalamnya saja. Dada itu rasanya makin besar saja.
Kutarik kedua tangan Tante, tapi ia melepaskannya. Dibukanya gesperku, lalu kancing celanaku, dan ditariknya resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang itu keluar dengan gagahnya persis di depan mukanya.
âUuuuuuuuuhhhhâ Tante melenguh pelan memegang kelaminku, dielusnya.
âKok besar sekali sih To, punyamu iniâ
Kuraih badannya, kubimbing ia ke kamarku sambil masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami berdua.
Kukunci pintu kamarku, kurebahkan Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan bertelanjang bulat kudekati Tante.
Dengan perlahan kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku bertemu dengan rambut halus hitam mengkilat itu. Ada cairan bening di sana. Kutindih tubuhnya lalu kakinya menjepit tubuhku. Kamipun berciuman, saling menggigit lidah. Lalu akupun tak tahan lagi.
Aku bangkit. Kubuka kakinya lebar. Lubang sempit itu terbuka sedikit, merah. Sekarang aku tak perlu dituntun lagi. Aku sudah tahu. Kutempelkan kepala penisku ke lubang sempit itu, lalu kudorong hati-hati.
âAaaaaaaaaaahhhhh, To, sedaaaaaapâ
Kepalanya sudah masuk. Nikmaaaaaaaaaat!
Aku heran, lubang sesempit itu bisa âmenelanâ kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang penting enak.
Sambil memegangi kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau geli-geli enak. Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak lagi, geli lagi.
Lagi kudorong, sampai habis, sampai mentok.
âIdiiiiiiiiiiiiih, Toooo, enak sekaliâ
Nyaman, sudah didalam seluruhnya.
Pinggul Tante mulai berputar. Aku tahu tugasku, menarik dan mendorong. Mulut Tante mengeluarkan bunyi-bunyian setiap aku mendorong. Melenguh, mendesah, kadang menjerit kecil, atau kata-kata yang tak bermakna.
Kejadian tiga hari lalu berulang. Baru beberapa kali âtusukâ aku sudah merasakan geli luar biasa. Nampaknya aku tak mampu menahan lagi. Ah, kenapa begini ? Aku tak bisa tahan lama. Aku cemas jangan-jangan Tante nanti kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku sudah hampir tiba di puncak.
Aku coba berhenti bergerak sambil menahan agar jangan sampai keluar dulu, persis kalau aku menahan kencing. Tapi begitu aku diam, pantat Tante langsung berputar. Seluruh bagian tubuh yang di dalam sana memeras-meras kelaminku. Oh, aku tak akan berhasil menahan diri. Langsung saja aku bergerak lagi, makin cepat malah. Ocehan Tantepun makin ngawur.
Aku jadi cepat, makin cepat dan semakin cepat, lalu â¦â¦. badanku bergetar hebat, mengejang, berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagiâ¦
Tante berhenti berputar, lalu menjepit kakiku, menerima pelepasanku.
Rasanya aku mengeluarkan banyak sekali
Lalu akupun ambruk di atas tubuh Tante.
Aku selesai. Selesai menggetar, selesai mengejang, selesai melepas, selesai semuanya. Tanteku selesai terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.
âTante, gimana Tante, saya engga bisa menahan lagi â¦â
âHmmm, Toâ
âMaafkan lagi saya, Tante. Saya gagalâ
âSudahlah, Toâ
âSaya hanya memuaskan diri sendiriâ
âTante bilang sudahlah, kamu lumayan tadiâ
âLumayan gimana Tante ?â
âAda kemajuan dibanding yang lalu. Tante merasa enak, tadiâ
âTante bohong! Tante cuma menghibur sayaâ
âBenar, To. Memang Tante merasa belum âtuntasâ, tapi kocokanmu tadi bisa Tante nikmatiâ. Aku agak tenteram.
âIni karena kamu belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama kamu akan mampu. Barangmu kerasnya luar biasaâ
âGimana caranya supaya saya bisa lama, Tante ?â
âNanti kamu akan tahu sendiriâ
âAjarin saya ya, Tanteâ
Tante tak menjawab. Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.
Tante melihat jam, pukul empat sore, lalu bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.
âTante mandi dulu, ya ?â
Aku membantunya berpakaian.
Merapikan karet celana dalamnya, mengkaitkan kutangnya, mengancingkan dasternya. Ada sesuatu yang lain kurasakan. Aku merasa demikian âmesraâ membantunya berpakaian. Aku serasa membantu isteriku!
Ya, barusan aku merasa meniduri isteriku.
Kupeluk Tante erat sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.
âTanteâ
âApa, To ?â
âTarto sayang Tanteâ kataku tiba-tiba.
Dipandangnya mataku lurus-lurus.
âApa maksudmu Toâ
âEngga tahu Tante, pokoknya saya sayang sama Tante. Tante jangan kapok, ya ? Tarto ingin kita terus beginiâ
âOh, itu maksudmu. Asal kamu bisa jaga rahasiaâ
âBisa, Tanteâ
âJuga harus hati-hatiâ
âIya,Tanteâ
Tanpa kusadari, penisku bangun lagi.
âSudah, mandi sanaâ Tante ke luar kamarku
***
Malam itu aku nonton TV sendirian. Tante ada di kamarnya, tertutup. Aku kesepian. Aku mengharapkan Tante akan ke luar dari kamar menemaniku di sini. Kemudian aku mendekatinya, lalu ciuman, raba-raba, dan â¦diakhiri dengan hubungan suami-isteri.
Heran aku, baru tadi sore aku dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam ini aku ingin lagi! Aku ingin kenikmatan itu lagi. Aku tetap menunggu.
Jam 9 malam. Tante belum juga muncul.
Pukul 9.30, tidak juga.
Kemarilah Tante, aku merindukanmu.
Malam ini adalah malam pertama Oom tak ada di rumah. Ayolah Tante, ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan.
Atau kuketuk saja pintunya, lalu aku masuk ?
Ah jangan. Itu kurang ajar, namanya.
Tubuh indah itu sendirian di kamar.
Buah dada putih itu tak ada yang mengelusnya.
Kelamin berambut halus itu tak ada yang memasukinya malam ini.
Kenapa engkau tidak ke luar ?
Barangkali Tante memang tidak membutuhkannya. Paling tidak malam ini.
Ya, kalau ia butuh tentunya akan mendekatiku.
Jam 10, belum ada tanda-tanda.
Aku putuskan, malam ini memang Tante tak mau diganggu. Biar sajalah. Toh besok siang, sore, atau malam masih ada kesempatan. Oom Ton menginap di Bandung dua malam. Yah, besok sajalah.
Tapi aku ingin malam ini!
Aku ingin malam ini kelaminku masuk dan kemudian mengeluarkan cairan dengan nikmat!
Kemudian aku mengeluarkan penisku yang sudah tegang itu. Kata Tante punyaku ini besar. Entah benar-benar besar, aku tak tahu. Sebab aku belum pernah lihat punya orang lain.
Karena tidak ada Oom Ton, aku jadi makin berani menggoda Tanteku. Seperti waktu sarapan tadi. Aku mengelus-elus bahu dan lengan atasnya yang terbuka di meja makan. Bahkan mencium pipinya.
âHati-hati, Toâ
âYa, Tante, Kan saya lihat-lihat keadaan duluâ
âMar ada di belakangâ katanya.
âTanteâ
âEhm ?â
âTarto sayang Tanteâ
âAku udah ada yang punya, Toâ katanya sambil mencubit pahaku. Aku senang.
âYa. Pokoknya saya sayangâ Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku ini.
âSemalam Tante ke mana. Saya tunggu-tungguâ
âYa. Tante tahu, kamu nonton TV. Kamu masuk kamar jam 10 âkan ? Masaâ mau terus-terusanâ. Aku lega, Tante tak tahu perbuatanku semalam yang menyelinap ke kamar Mbak Mar.
âIya dong. Mumpung ada kesempatan. Sekarang juga saya mauâ kataku nakal.
âGila, kamu To. Awas jangan sampai mengganggu sekolahmu!â
âHabis Tante betul-betul menggemaskanâ Aku ngaceng lagi!
âUdah ah, berangkat sana, nanti telatâ
âTapi nanti lagi ya Tante, janji duluâ
âLihat dulu nantiâ
Bagaimana tidak mengganggu sekolah, seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan apa yang akan kuperbuat nanti bersama Tante.
bagaimana ? Fresh kan cerita ngentot nya semoga bisa menghibur
dan jangan lupa koleksi cerita sex lainya di lintascerita
Langsung aja deh dimulai cerita ngentot tante Yeni
Selasai mandi hari sudah hampir gelap. Di ruang keluarga Tante sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.
âSenamnya di mana Tante ?â Aku coba membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.
âDekat, di Tebet Timur Dalamâ. Malam ini Tante mengenakan daster pendek tak berlengan, ada kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke bawah.
âTumben, kamu tidur siangâ
âIya Tante, tadi main voli di situâ jawabku tangkas.
âKamu suka main voli ?â
âDi Kampung saya sering olah-raga Tanteâ Aku mulai berani memandangnya langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya putih banget!
âPantesan badanmu bagusâ Senang juga aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.
âAh, Kalau ini mungkin saya dari kecil kerja keras di kebun, Tanteâ Wow, buah putih itu mengintip di antara kancing pertama dan kedua di tengah dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.
âKerja apa di kebun ?â
âMengolah tanah, menanam, memupuk, panenâ Buah dada itu rasanya mau meledak keluar.
âApa saja yang kamu tanam ?â tanyanya lagi sambil mengubah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.
Kancing terakhir daster itu sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya menaiki pahanya yang lain, ujung kain daster itu tidak âikutâ, jadi 70 % paha Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin. Yang tadi bergerak di celanaku, berangsur membesar.
âMacam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomatâ Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya.
âKalau kamu mau makan, duluan ajaâ
âNanti aja Tante, nunggu Oomâ Aku memang belum lapar. Adikku mungkin yang âlaparâ
âOom tadi nelepon ada acara makan malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malamâ
âSaya belum laparâ jawabku supaya aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.
âKamu betah di sini ?â Ia membungkuk memijit-mijit kakinya. Betisnya ituâ¦
âKerasan sekali, Tante. Cuman saya banyak waktu luang Tante, biasa kerja di kampung, sih. Kalau ada yang bisa saya bantu Tante, saya siapâ
âYa, kamu biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugasâ
âKenapa kakinya Tante ?â Sekedar ada alasan buat menikmati betisnya.
âPegel, tadi senamnya habis-habisanâ
Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya terdapat âcelahâ. Ada yang sempit, ada yang lebar, ada yang tertutup. Celah pertama, lebar karena busungan dadanya, menyuguhkan bagian kanan atas buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan kutang bagian bawah. Celah ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya. Celah berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam Tante warna merah jambu. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi.
âMau bantu Tante sekarang ?â
âKapan saja saya siapâ
âBetul ?â
âKewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apaâ
âPijit kaki Tante, mau ?â
Hah ? Aku tak menyangka diberi tugas mendebarkan ini
âBiasanya sama Si Mar, tapi dia lagi engga adaâ
âTapi saya engga bisa mijit Tante, cuma sekali saya pernah mijit kaki teman yang keseleo karena main bolaâ Aku berharap ia jangan membatalkan perintahnya.
âEngga apa-apa. Tante ambil bantal duluâ Goyang pinggulnya ituâ¦
Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir seluruh tubuh Tante pernah kulihat, tapi baru inilah aku merasakan mulus kulitnya. Mataku ke betis lainnya mengamati bulu-bulu halus.
âBegini Tante, kurang keras engga ?â
âCukup segitu aja, enak kokâ
Tangan memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat itu bulat menjulang, sampai di pinggang turun menukik, di punggung mendaki lagi. Indah. Kakinya sedikit membuka, memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya. Tanganku pindah ke betis kanannya aku menggeser dudukku ke tengah, dan..terobosan mataku ke celah paha sampai ke celana dalam merah jambu itu. Huuuh, sekarang aku betul-betul keras.
âAahâ teriaknya pelan ketika tanganku menjamah ke belakang lututnya.
âMaaf Tanteâ Ngentot
âEngga apa-apa. Jangan di situ, sakit. Ke atas sajaâ
Ke Atas ? Berarti ke pahanya ? Apa tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke paha belakangnya.
Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit Tante memang istimewa. Kalau ada lalat hinggap di paha itu, mungkin tergelincir karena licin!
Aku mulai tak tenang. Nafas mulai tersengal, entah karena mijit atau terangsang, atau keduanya. Aku tak hanya memijit, terkadang mengelusnya, habis tak tahan. Tapi Tante diam saja.
Kedua paha yang diluar, yang tak tertutup daster selesai kupijit. Entah karena aku sudah âtinggiâ atau aku mulai nakal, tanganku terus ke atas menerobos dasternya.
âEeehâ desahnya pelan. Hanya mendesah, tidak protes!
Kedua tanganku ada di paha kirinya terus memijit. Kenyal, padat. Tepi dasternya dengan sendirinya terangkat karena gerakan pijitanku. Kini seluruh paha kirinya terbuka gamblang, bahkan sebagian pantatnya yang melambung itu tampak. Pindah ke paha kanan aku tak ragu-ragu lagi menyingkap dasternya.
âEnak To, kamu pintar juga memijitâ
Aku hampir saja berkomentar :âPaha Tante indah sekaliâ. Untung aku masih bisa menahan diri. Terus memijit, sekali-kali mengelus.
âKe atas lagi Toâ suaranya jadi serak.
Ini yang kuimpikan! Sudah lama aku ingin meremas pantat yang menonjol indah ke belakang itu, kini aku disuruh memijitnya! Dengan senang hati Tante!
Aku betul-betul meremas kedua gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya. Dengan gemas malah! Keras dan padat.
Ah, Tante. Tante tidak tahu dengan begini justru menyiksa saya! kataku dalam hati. Rasanya aku ingin menubruk, menindihkan kelaminku yang keras ini ke dua gundukan itu. Pasti lebih nikmat dibandingkan ketika memeluk tubuh mbak Mar dari belakang.
âIh, geli To. Udah ah, jangan di situ terusâ ujarnya menggelinjang kegelian. Barusan aku memang meremas pinggir pinggulnya, dengan sengaja!
âCape, To ?â tanyanya lagi.
âSama sekali engga, Tanteâ jawabku cepat, khawatir saat menyenangkan ini berakhir.
âBener nih ? Kalau masih mau terus, sekarang punggung, ya ?â. Aha, âdaerah jamahanâ baru!
Bahunya kanan dan kiri kupencet.
âEehâ desahnya pelan.
Turun ke sekitar kedua tulang belikat. Lagi-lagi melenguh. Daster tak berlengan ini menampakkan keteknya yang licin tak berbulu. Rajin bercukur, mungkin. Ah, di bawah ketek itu ada pinggiran buah putih. Dada busungnya tergencet, jadi buah itu âterbuangâ ke samping. Nakalku kambuh. Ketika beroperasi di bawah belikat, tanganku bergerak ke samping.
Jari-jariku menyentuh âtumpahanâ buah itu. Tidak langsung sih, masih ada lapisan kain daster dan kutang, tapi kenyalnya buah itu terasa. Punggungnya sedikit berguncang, aku makin terangsang.
Ke bawah lagi, aku menelusuri pinggangnya.
âCukup, To..â Kedua tangannya lurus ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-engah.
âDepannya Tante ?â usulku nakal. Lancang benar kau To. Tante sampai menoleh melihatku, kaget barangkali atas usulku yang berani itu.
âKaki depannya âkan belum Tanteâ aku cepat-cepat meralat usulku. Takut dikiranya aku ingin memijit âdepannya punggungâ yang artinya buah dada!
âBoleh aja kalau kamu engga capeâ. Ya jelas engga dong! Tante berbalik terlentang. Sekejap aku sempat menangkap guncangan dadanya ketika ia berbalik. Wow! Guncangan tadi menunjukkan âeksistensiâ kemolekkan buah dadanya! Aduuh, bagaimana aku bisa bertahan nih ? Tubuh molek terlentang dekat di depanku. Ia cepat menarik dasternya ke bawah, sebagai reaksi atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang tiba-tiba terbuka, karena gerakan berbalik tadi. Silakan ditutup saja Tante, toh aku sudah tahu apa yang ada dibaliknya, rambut-rambut halus agak lurus, hitam, mengkilat, dan lebat. Lagi pula aku masih bisa menikmati âsisanyaâ: sepasang paha dan kaki indah! Aku mulai memijit tulang keringnya. Singkat saja karena aku ingin cepat-cepat sampai ke atas, ke paha.
Lutut aku lompati, takut kalau ia kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan gemas.
âIih, geliâ. Aku tak peduli, terus meremas. Paha selesai, untuk mencapai paha atas aku ragu-ragu, disingkap atau jangan. Singkap ? Jangan! Ada akal, diurut saja. Mulai dari lutut tanganku mengurut ke atas, menerobos daster sampai pangkal paha.
âAaaah, Tooo â¦.â Biar saja. Kulihat wajahnya, matanya terpejam. Aku makin bebas.
Dengan sendirinya tepi daster itu terangkat karena terdorong tanganku. Samar-samar ada bayangan hitam di celana dalam tipis itu. Jelas rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut lagi ke atas. Aaah lagi. Dengan cara begini, sah-sah saja kalau jempol tanganku menyentuh selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi untuk meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah! Kenapa basah ? Ngompol ? Aku tidak mengerti.
âTo â¦â panggilnya tiba-tiba. Aku memandangnya, kedua tanganku berhenti di pangkal pahanya. Matanya sayu menantang mataku, nafasnya memburu, dadanya naik-turun.
âYa, Tanteâ mendadak suaraku serak. Dia tak menyahut, matanya tetap memandangiku, setengah tertutup. Ada apa nih ? Apakah Tante â¦.. ? Ah, mana mungkin. Kalau Tante terrangsang, mungkin saja, tapi kalau mengajak ? Jangan terlalu berharap, To!
Aku meneruskan pekerjaanku. Kini tak memijit lagi, tapi menelusuri lengkungan pinggulnya yang indah itu, membelai. Habis tak tahan.
âUuuuhâ desahnya lagi menanggapi kenakalanku. Keterlaluan aku sekarang, kedua tanganku ada di balik dasternya, mengelus mengikuti lengkungan samping pinggul.
âToo â¦. â panggilnya lagi. Kulepas tanganku, kudekati wajahnya dengan merangkak di atas tubuhnya bertumpu pada kedua lutut dan telapak tanganku, tidak menindihnya.
âAda apa, Tanteâ panggilku mesra. Mukaku sudah dekat dengan wajahnya.
Matanya kemudian terpejam, mulut setengah terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, sudah kepalang, kucium bibir Tante perlahan.
âEhhmmmmâ Tante tidak menolak, bahkan menyambut ciumanku. Tangan kirinya memeluk punggungku dan tangan kanannya di belakang kepalaku. Nafasnya terdengar memburu. Aku tidak lagi bertumpu pada lututku, tubuhku menindih tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya. Aku menggeser tubuhku sehingga tepat di antara pahanya yang baru saja ia buka. Kelaminku yang keras tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya!
âEhhhmmmmmmâ reaksinya atas aksiku.
Kami saling bermain lidah. Sedapnya!
Aku terengah-engah.
Dia tersengal-sengal.
Tangan kananku meremas dada kirinya. Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku melayang.
He!, ini Tantemu, isteri Oommu!
Iya, benar. Memangnya kenapa.
Mengapa kamu cium, kamu remas dadanya.
Habis enak, dan ia tak menolak.
Dua kancing dasternya telah kulepas, tanganku menyusup ke balik kutangnya.
Selain besar, padat, dan kenyal, ternyata juga halus dan hangat!
Tiba-tiba Tante melepas ciumanku.
âJangan di sini, Toâ katanya terputus-putus oleh nafasnya.
Tanpa menjawab aku mengangkat tubuhnya, kubopong ia ke kamarnya. âUuuuuhhhâ lenguhnya lagi.
âKe kamarmu sajaâ
Sebelum sampai ke dipanku, Tante minta turun. Berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menahan dadaku.
âKunci dulu pintunyaâ Okey, beres.
Kulepas seluruh kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan celana dalam. Buah dada itu serasa mau meledak mendesak kutangnya!
Kupeluk lagi dia. Dadanya merapat di dadaku.
âTooo, hhehhhhhhhâ katanya gemas seperti menahan sesuatu.
Kami berciuman lagi. Main lidah lagi.
Tangannya menyusup ke celanaku, meremas-remas kelaminku di balik celana.
âEehhmmmmmmâ dengusnya
Dengan kesulitan ia membuka ikat pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan mengeluarkan âisinyaâ
âEehhhâ Ia melepas ciuman, melihat ke bawah.
âAda apa Tanteâ Tanyaku disela-sela dengus nafasku.
âBesar sekaliâ
Ia mempermainkan penisku. Menggenggam, meremas.
Geli, geliii sekali.
Stop Tante, jangan sampai keluar. Aku ingin pengalaman baru, Tante. Ingin memasuki kelaminmu..sekarang!
Kutarik tangannya dari penisku. Untung Tante menurut. Aku tak jadi âkeluarâ
Kulepas tali kutangnya, tapi yang belakang susah dilepas. Tante membantu. Buah dada itu terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat aku menikmat buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan kananku, dituntunnya menyelip ke celana dalamnya. Dibawah rambut-rambut itu terasa basah. Diajarinya aku bagaimana jariku harus bermain di sana : menggesek-gesek antara benjolan dan pintu basah itu.
âUuuuuuhhhhhh, Tooo..â
Dilepasnya bajuku, singletku, celanaku luar dalam. Aku telanjang bulat. Kutarik juga celana dalamnya. Ia telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang itu ramping, perut itu rata, ke bawah melebar lengkungannya indah. Rambut-rambut halus itu menggemaskan, diapit oleh sepasang paha yang nyaris bulat. Seluruhnya dibalut kulit yang putih dan mulusnya bukan main!.
Ditariknya aku ke dipan. Ia merebahkan diri. Kakinya ditekuk lalu dibuka lebar. Dipegangnya kelaminku, ditariknya, ditempelkannya di selangkangan. Rasanya terlalu ke bawah. Ah, dia âkan yang lebih tahu. Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku. Ditariknya aku mendekat tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung penisku.
Tangannya memegang penisku lagi. Belum masuk ternyata. Disapu-sapukannya kepala penisku di pintu itu. Sementara ia menggoyang pantatnya. Geliii, Tante. Aku manut saja seperti kerbau dicucuk hidung. Memang belum pengalaman! Didorongnya lagi pantatku. Meleset!
Pernah kupikir waktu pertama kali aku melihat kelamin Tante beberapa hari lalu, mana cukup lubang sesempit itu menampung kelaminku yang lagi tegang ?
Tante membuka pahanya lebih lebar lagi, mengarahkan penisku lagi, dan aku sekarang yang mendorong. Kepalanya sudah separoh tenggelam, tapi macet!
âKelaminmu besar, sih!âkeluhnya. Padahal barusan ia mengaguminya.
Ia menggoyang pantatnya danâ¦bless. Masuk separoh.
âAaaaahhhâ teriak kami berbarengan. Terasa ada sesuatu yang menjepit penisku, hangat, enak!
Pantatnya bergoyang lagi, tumitnya mendorong pantatku.
Blesss..masuk lagi. Makin hangat, makin sedap, dan geli.
Goyang lagi, aku dorong sekarang. Masuk semuanya
Seedaaaaaaaaap!
Tante bergoyang.
Nikmaaaaaaaat!
Tante menjepit.
Geliiiiiiiiiiiiiiii!
Kutarik pelan. Terasa gesekan, enak. Ya, digesek begini enak. Tarik sedikit lagi, dan kudorong lagi.
âIdiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Tooâ Tante berteriak, agak keras.
Geli di ujung sana. Tariik, dorooong
Makin geli..
Geli sekaliâ¦
Tak tahaaaaaannâ¦
âTahan dulu, Toâ
Tak mungkin, sudah geli sekali.lalu..
Aku melambung, melayang, melepas..
âAaaaaahhhhhhhâ teriakku. Nikmatnya sampai ke ubun-ubun.
Mengejang, melepas lagi, berdenyut, enak, melepas lagi, nikmat sekali..!
âGenjot lagi, Toâ teriaknya
Mana bisa.
âAyo, Toâ
Aku sudah selesai!
Tante masih menggoyang
Aku ikut saja, pasif
âTooooo, ..â
Tante gelisah, goyangnya tak kubalas. Aku sudah selesai!
âEeeeeeeeehhâ keluhnya, sepertinya kecewa.
Bergerak-gerak tak karuan, menendang, menggeliat, gelisah..
Penisku mulai menurun, di dalam sana.
Tante berangsur diam, lalu sama sekali diam, kecewa.
Tinggal aku yang bingung.
Beberapa menit yang lalu aku mengalami peristiwa yang luar biasa, yang baru kali ini aku melakukan. Baru kali ini pula aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan berhubungan kelamin.
Nikmatnya susah digambarkan.
Hubungan kelamin antara pria yang mulai menginjak dewasa dengan wanita dewasa muda.
Sama-sama diinginkan oleh keduanya.
Keduanya yang memulai.
Berdua pula yang melanjutkan, keterusan danâ¦kepuasan.
Kepuasan ? Aku memang puas sekali, tapi Tante ?
Itulah masalahnya sekarang.
Aku menangkap wajah kecewa pada Tante.
Perilakunya yang gelisah juga menandakan itu.
Aku jadi merasa bersalah. Aku egois.
Aku mendapatkan kenikmatan luar biasa sementara aku tak mampu memberi kepuasan kepada âlawan mainkuâ, Tante Yani.
Terlihat tadi, ia ingin terus sementara aku sudah selesai.
Aku bingung bagaimana mengatasi kebisuan ini.
Aku masih menindih tubuhnya. Penisku masih di dalam.
Buah dadanya masih terasa kencang mengganjal dadaku.
Pandangannya lurus ke atas melihat plafon.
Aku harus ambil inisiatif.
Kucium pipinya mesra, penuh perasaan.
âMaafkan saya, Tanteâ
Tante menoleh, tersenyum dan balas mencium pipiku.
Sementara aku agak lega, Tante tak marah.
âKamu engga perlu minta maaf, Toâ
âHarus Tante, saya tadi nikmat sekali, sebaliknya Tante belum merasakan. Saya engga mampu, Tante. Saya belum pengalaman Tante. Baru kali ini saya melakukan ituâ
âBetul ? Baru pertama kamu melakukan ?â
âSungguh Tanteâ
âEngga apa-apa, To. Tante bisa mengerti. Kamu bukannya tidak mampu. Hanya karena belum biasa saja. Syukurlah kalau kamu tadi bisa menikmatiâ
âNikmaaat sekali, Tanteâ
Tante diam lagi, mengelus-elus punggungku. Nyaman sekali aku seperti ini.
âTo â panggilnya.
âYa, Tanteâ
âIni rahasia kita berdua saja ya ? Tante minta kamu jangan katakan hal ini pada siapapunâ
âTentu Tante, tadinya sayapun mau bilang begituâ Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak aku jadi cemas.
âTante â
âHhmmâ
âGimana kalau Tante nanti ..â Aku tak berani meneruskan.
âNanti apa ?â
âAkibat perbuatan tadi, lalu Tante ..â
âHamil ?â potongnya.
âYa â
âEngga usah kamu pikirkan. Tante sudah jaga-jagaâ
âSaya engga mengerti Tanteâ
âTo, lain kali saja ya Tante jelasin. Sekarang Tante harus mandi, Oommu âkan sebentar lagi datangâ
Ah, celaka. Sampai lupa waktu. Aku bangkit hendak mencabut.
âPelan-pelan Toâ katanya sambil menyeringai, lalu matanya terpejam
âEeeeeehhhâ desahnya hampir tak terdengar, ketika aku mencabut kelaminku.
Kubantu ia mengenakan kutangnya. Buah dada itu belum sempat aku nikmati. Lain kali pasti!
âTante â aku memanggil ketika ia sudah rapi kembali.
Kupeluk ia erat sekali, kubisikkan di dekat kupingnya
âTerima kasih, Tanteâ lalu kucium pipinya.
âYa â jawabnya singkat.
âSana mandi, cuci yang bersih niihâ katanya lagi sambil menggenggam penisku waktu bilang âniihâ
Ooohhh, nikmatnya hari ini aku.
Malam ini pertama kali aku ciuman dengan nikmat, pacaran sampai âketerusanâ. Pertama kali penisku memasuki kelamin wanita. Pertama kali aku menumpahkan âairâ ku ke dalam tubuh wanita, tidak ke perut atau ke lantai.
Lebih istimewa lagi, wanita itu adalah Tante Yani.
Wanita dengan tubuh yang luar biasa.
Bentuknya, potongannya, halusnya, padatnya, putihnya, bulunyaâ¦..
Padahal wanita itu sudah 26 tahun, sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi lebih padat dari Si Ani yang 17 tahun, lebih manis dari Si Yuli yang sepantaranku, lebih indah dari Si Rika yang seumurku.
Yang masih mengganjal, wanita itu Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku meniduri isteri Oomku! Aku mendapatkan pengalaman baru dari isterinya! Aku memperoleh kenikmatan dari meniduri isterinya. Isteri orang yang membiayai sekolahku, yang memberiku makan dan tempat tinggal!
Betapa jahatnya aku. Betapa kurangajarnya aku.
Aku sekarang jadi pengkhianat!
Mengkhianati adik misan ayahku!
Tapi, keliru kalau semua kesalahan ditimpakan kepadaku.
Siapa yang menyuruh memijat ?
Okey, seharusnya memijat saja, kenapa pakai mengelus ?
Pakai meremas pantat ? Habis, siapa yang tahan ? Aku masih 16 tahun, masih sangat muda, tapi sudah matang secara seksual, mudah terrangsang.
Tante sendiri, kenapa tidak menolak ? Bisa saja ia menempelengku ketika aku mau mencium bibirnya di karpet itu. Bisa saja ia menolak waktu aku membopongnya ke kamarku. Dan aku, bisa saja memberontak waktu ia merogoh celana dalamku, waktu ia menggenggam kelaminku dan diarahkan ke kelaminnyaâ¦.
Kesimpulannya : salah kami berdua!
Tapi, aku ingin mengulangi â¦â¦â¦.!
***
Paginya, kami sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani menatap mata Oom waktu kami berbicara. Mungkin karena ada perasaan bersalah. Sedangkan Tante, biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada pembicaraan penting waktu makan.
Tante bangkit menuangkan minuman buat Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi ingat peristiwa semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang ada di depanku ini, yang sekarang tertutup rapat, sudah pernah aku tiduri. Aku ngaceng lagi..
Susah sekali aku berkonsentrasi menerima pelajaran hari ini. Pikiranku ke rumah terus, ke Tante. Bagaimana ia âmenuntunkuâ masuk. Bagaimana aku mulai belajar âmenggesekâ, terus keenakkan. Aku ingin lagiâ¦!
Tante bagaimana ya, apakah ia ingin lagi ? Aku meragukannya, mengingat semalam ia tidak puas. Jangan-jangan ia kapok. Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya sedikit lebih mesra kepadaku. Memangnya kamu ini siapa.
Lebih baik begitu, wajar saja, âkan ada suaminya.
***
Dua hari kemudian ketika aku pulang sekolah, kulihat ada mobil Oom di garasi. Apakah Oom Ton tak ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom tahu kalau aku ..
Ah, jangan berpikir begitu. Dua hari terakhir ini sikap Oom kepadaku tak ada perubahan apa-apa. Sikap Tante juga wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan. Setiap hari ketemu Tante. Aku selalu membayangkan âdalamâ-nya, walau pakaian Tante tertutup rapat. Lalu, terbayang, aku sudah pernah menjamah tubuh itu, dan terangsang lagi.
Selama dua hari ini aku betul-betul tersiksa. Terlihat paha Tante yang sedikit tersingkap saja, aku langsung ânaikâ. Ooh..! Aku ingin lagiiiiii.
Siang ini aku makan sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom pasti ada di dalam, mobilnya ada. Tante juga tentunya. Mungkin mereka sedang â¦? Siang-siang ? Biar saja, toh suami-isteri. Sekejap ada rasa tak nyaman. Tanteku sedang ditiduri suaminyaâ¦! Aku iri! Memangnya kamu siapa ?
Baru saja aku selesai menyantap sendok terakhir makananku, kemudian mengangkat gelas, ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju tidur. Aku terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas berhenti, belum sempat minum, terpesona oleh Tante dengan baju tidurnya. Kelihatan ia baru bangun tidur, melihatku.
âSudah pulang, Toâ
âUdah dari tadi Tanteâ
Ia tutup pintu kamarnya kembali lalu mendekatiku, dan tiba-tiba mencium pipiku erat, lenganku merasakan lembutnya sesuatu yang menandakan Tante tak memakai kutang.
Hampir saja aku menumpahkan air minum karena kaget.
âAda kabar gembira.âkatanya berbisik. Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante sudah beranjak ke belakang meninggalkanku.
Aku jadi penasaran. Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar gembira apa ?
Ketika Ia kembali lagi, aku berdiri untuk memuaskan rasa penasaran tadi.
Tante menempelkan telunjuknya ke mulut sambil matanya melirik ke kamar. Aku mengerti isyarat ini. Jangan ganggu, ada suaminya.
Sejam kemudian kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bersama Tante. Oom Ton berpakaian rapi berdasi, seperti hendak ke kantor, sedangkan Tante mengenakan daster pendek tak berlengan berkancing tengah, daster kesukaanku. Terlihat segar, baru saja mandi, mungkin.
âTartoâ Oom Ton memanggilku.
âYa, Oomâ
âOom mau ke Bandung, dua hari. Kamu jaga rumah ya ?â
Ini rupanya kabar gembira itu!
âBaik, Oom, kapan Oom berangkat ?â
âSebentar lagi, jam tigaâ
Dua hari Oom tak ada di rumah, tentunya dua malam juga. Dua malam aku menjaga rumah, bersama Tante.
Dua malam bersama Tante ? Bukan main!. Eit, jangan berharap dulu, ya. âKan tadi Ia bilang kabar gembira ?
Kok kamu yakin kabar gembiranya Tante adalah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok pasti ya!
Aku melirik Tante, Ia biasa-biasa saja.
Pak Dadan datang membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.
âPapa berangkat ya, Maâ
âYa, Pa, hati-hati di jalan, ya ?â
âMama juga hati-hati di rumahâ
Oom mencium pipi Tante, lalu menciumi Si Luki.
âJaga baik-baik, ya Toâ
âYa, Oomâ
Seisi rumah mengantar Oom sampai depan pintu pagar, melambai sampai mobilnya berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.
Semuanya masuk ke rumah kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh berharap dan kepalaku penuh rencana.
Luki dibawa pengasuhnya ke rumah sebelah. Mbak meneruskan pekerjaannya di belakang. Aman. Tinggal aku dan Tante. Kuberanikan diriku. Kupeluk Tante dari belakang. Betul âkan, Tante tak memakai kutang. Wah, sudah lama sekali aku tak menyentuhnya.
Tante sedikit kaget, lalu berbalik membalas pelukanku. Cuma sebentar, melepaskan diri.
âSabar, dong Toâ
âTante â¦â Serak suaraku.
âNanti malam saja â
Aha, rencana di kepalaku bisa terlaksana malam ini.
Kami duduk berdampingan di sofa, sedikit berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.
Aku tak tahan lagi, penisku sudah tegang dari tadi. Sekarang baru jam setengah empat sore. Berapa jam lagi aku mesti menunggu ? Oh, lama sekali.
Tante, tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menunggu.
Kulihat sekeliling meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika di belakang. Aman!
Kupegang tangan Tante yang sedang ada di pahanya. Dengan begini aku bisa meremas-remas tangannya sambil merasakan lembutnya paha. Ia sesekali membalas remasanku, tetap membaca.
Ditariknya tangannya untuk membuka halaman buku bacaannya, tanganku âtertinggalâ di pahanya. Kesempatan.
Kuusap lembut pahanya. Paha itu masih seperti yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu lembut. Masih tetap membaca.
Aku makin berani, tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya. Kuusap celana dalamnya. Nafasnya mulai terdengar meningkat âvolumeânya.
Diletakkannya buku itu sambil menghela nafas panjang.
âTo., kamu engga sabaran, ya ?â katanya sambil memegang tanganku di bawah sana.
âMaafkan saya Tante, saya.. saya ..engga kuat lagi Tante, saya ingin lagi, Tanteâ Kataku terputus-putus menahan birahi yang mendesak. Kelaminku juga mendesak.
âMasih sore, Toâ
âTolonglah., Tante, saya membayangkan terus setiap ..hariâ kataku setengah memohon. Aku yakin Tantepun sebenarnya telah terangsang, terlihat dari nafasnya dan aku merasakan basah di celananya. Aku sudah sampai pada titik yang tak mungkin surut kembali. Situasi sekeliling aman. Jadi, apa lagi selain berlanjut ?
âSaya mohon, Tanteâ kini aku betul-betul memohon.
Ditariknya tanganku dari paha, lalu dituntun ke dadanya. Permohonanku diterima.
Kuremas buah dada itu yang hanya ditutupi selembar kain daster.
âEeeeeeehhhâ desahnya.
Tiga hari lalu, waktu aku pertama kali meniduri Tante (memang baru pertama kali aku berhubungan sex), aku belum sempat menikmati buah dada ini. Waktu itu kami sudah sama-sama terangsang sehabis aku memijatnya. Aku baru sempat meremasnya, itupun dibalik kutang. Lalu ketika kutangnya sudah terbuka, Tante sudah keburu menuntun kelaminku memasukinya.
Sekaranglah kesempatan untuk menikmati dada itu.
Kubuka kancing dasternya, satu, dua, tiga.
Dada itu mengagumkan.
Putih, besar, menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya, putingnya kecil agak panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.
Aku berlutut di depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang seperti parit kecil di antara dua bukit.
Halusnya buah itu dapat kurasakan di kedua belah pipiku.
Mulutku bergerak ke kiri, ke dada bagian atas, terus turun, kutelusuri permukaan bukit halus itu dengan bibir dan lidahku. Sementara tangan kananku mengusapi buah kirinya. Luar biasa, kulit itu haluuus sekali! Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku. Penelusuranku berakhir di puncaknya. Kumasukkan putting itu kemulutku, kukemot.
âAaaaaaaahhhâ lenguhnya pelan sekali.
Tangannya menekan kepalaku.
Kukemot lagi, kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting itu mengeras. Puting satunya lagi juga mengeras, terasa di antara telunjuk dan ibujari tangan kananku.
Ada kesamaan gerak antara mulut dan tangan kananku. Kalau mulutku mengulum puting, jari-jariku memilin puting sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi seluruh permukaan buah yang sangat halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh permukaan dada itu demikian halus, sehingga ada sedikit yang tak halus di sebelah puting agak ke bawah menarik perhatianku.
Kulepaskan muluku dari dadanya, ingin memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante ada bercak merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat tadi siang waktu makan. Ini pasti âhasil kerjaâ Oom Ton di kamar yang terkunci tadi..
Akupun ingin. Betapa enaknya menggigit buah kenyal ini.
Dada kanan bagianku. Kucium puting itu kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.
Tiba-tiba Tante mendorong kepalaku.
âJangan, To. Kamu..mikir, dongâ katanya sambil terengah-engah.
Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit tentu nanti berbekas, jelas pemilik sahnya, Oom Ton, akan curiga!
âMaafkan saya Tante, habis gemas sih.â
âYahhh.engga apa-apa. Kamu harus ingat, ini rahasia kita sajaâ
Dipegangnya dadanya sendiri lalu disodorkannya ke mulutku. Gantian, sekarang dada kiri dengan mulutku, yang kanan dengan tangan kirikuâ¦.
Sudah saatnya untuk pindah ke kamar.
Aku bangkit berdiri. Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah dasternya sudah semuanya terlepas, menyibak kesamping, tinggal celana dalamnya saja. Dada itu rasanya makin besar saja.
Kutarik kedua tangan Tante, tapi ia melepaskannya. Dibukanya gesperku, lalu kancing celanaku, dan ditariknya resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang itu keluar dengan gagahnya persis di depan mukanya.
âUuuuuuuuuhhhhâ Tante melenguh pelan memegang kelaminku, dielusnya.
âKok besar sekali sih To, punyamu iniâ
Kuraih badannya, kubimbing ia ke kamarku sambil masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami berdua.
Kukunci pintu kamarku, kurebahkan Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan bertelanjang bulat kudekati Tante.
Dengan perlahan kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku bertemu dengan rambut halus hitam mengkilat itu. Ada cairan bening di sana. Kutindih tubuhnya lalu kakinya menjepit tubuhku. Kamipun berciuman, saling menggigit lidah. Lalu akupun tak tahan lagi.
Aku bangkit. Kubuka kakinya lebar. Lubang sempit itu terbuka sedikit, merah. Sekarang aku tak perlu dituntun lagi. Aku sudah tahu. Kutempelkan kepala penisku ke lubang sempit itu, lalu kudorong hati-hati.
âAaaaaaaaaaahhhhh, To, sedaaaaaapâ
Kepalanya sudah masuk. Nikmaaaaaaaaaat!
Aku heran, lubang sesempit itu bisa âmenelanâ kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang penting enak.
Sambil memegangi kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau geli-geli enak. Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak lagi, geli lagi.
Lagi kudorong, sampai habis, sampai mentok.
âIdiiiiiiiiiiiiih, Toooo, enak sekaliâ
Nyaman, sudah didalam seluruhnya.
Pinggul Tante mulai berputar. Aku tahu tugasku, menarik dan mendorong. Mulut Tante mengeluarkan bunyi-bunyian setiap aku mendorong. Melenguh, mendesah, kadang menjerit kecil, atau kata-kata yang tak bermakna.
Kejadian tiga hari lalu berulang. Baru beberapa kali âtusukâ aku sudah merasakan geli luar biasa. Nampaknya aku tak mampu menahan lagi. Ah, kenapa begini ? Aku tak bisa tahan lama. Aku cemas jangan-jangan Tante nanti kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku sudah hampir tiba di puncak.
Aku coba berhenti bergerak sambil menahan agar jangan sampai keluar dulu, persis kalau aku menahan kencing. Tapi begitu aku diam, pantat Tante langsung berputar. Seluruh bagian tubuh yang di dalam sana memeras-meras kelaminku. Oh, aku tak akan berhasil menahan diri. Langsung saja aku bergerak lagi, makin cepat malah. Ocehan Tantepun makin ngawur.
Aku jadi cepat, makin cepat dan semakin cepat, lalu â¦â¦. badanku bergetar hebat, mengejang, berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagiâ¦
Tante berhenti berputar, lalu menjepit kakiku, menerima pelepasanku.
Rasanya aku mengeluarkan banyak sekali
Lalu akupun ambruk di atas tubuh Tante.
Aku selesai. Selesai menggetar, selesai mengejang, selesai melepas, selesai semuanya. Tanteku selesai terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.
âTante, gimana Tante, saya engga bisa menahan lagi â¦â
âHmmm, Toâ
âMaafkan lagi saya, Tante. Saya gagalâ
âSudahlah, Toâ
âSaya hanya memuaskan diri sendiriâ
âTante bilang sudahlah, kamu lumayan tadiâ
âLumayan gimana Tante ?â
âAda kemajuan dibanding yang lalu. Tante merasa enak, tadiâ
âTante bohong! Tante cuma menghibur sayaâ
âBenar, To. Memang Tante merasa belum âtuntasâ, tapi kocokanmu tadi bisa Tante nikmatiâ. Aku agak tenteram.
âIni karena kamu belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama kamu akan mampu. Barangmu kerasnya luar biasaâ
âGimana caranya supaya saya bisa lama, Tante ?â
âNanti kamu akan tahu sendiriâ
âAjarin saya ya, Tanteâ
Tante tak menjawab. Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.
Tante melihat jam, pukul empat sore, lalu bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.
âTante mandi dulu, ya ?â
Aku membantunya berpakaian.
Merapikan karet celana dalamnya, mengkaitkan kutangnya, mengancingkan dasternya. Ada sesuatu yang lain kurasakan. Aku merasa demikian âmesraâ membantunya berpakaian. Aku serasa membantu isteriku!
Ya, barusan aku merasa meniduri isteriku.
Kupeluk Tante erat sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.
âTanteâ
âApa, To ?â
âTarto sayang Tanteâ kataku tiba-tiba.
Dipandangnya mataku lurus-lurus.
âApa maksudmu Toâ
âEngga tahu Tante, pokoknya saya sayang sama Tante. Tante jangan kapok, ya ? Tarto ingin kita terus beginiâ
âOh, itu maksudmu. Asal kamu bisa jaga rahasiaâ
âBisa, Tanteâ
âJuga harus hati-hatiâ
âIya,Tanteâ
Tanpa kusadari, penisku bangun lagi.
âSudah, mandi sanaâ Tante ke luar kamarku
***
Malam itu aku nonton TV sendirian. Tante ada di kamarnya, tertutup. Aku kesepian. Aku mengharapkan Tante akan ke luar dari kamar menemaniku di sini. Kemudian aku mendekatinya, lalu ciuman, raba-raba, dan â¦diakhiri dengan hubungan suami-isteri.
Heran aku, baru tadi sore aku dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam ini aku ingin lagi! Aku ingin kenikmatan itu lagi. Aku tetap menunggu.
Jam 9 malam. Tante belum juga muncul.
Pukul 9.30, tidak juga.
Kemarilah Tante, aku merindukanmu.
Malam ini adalah malam pertama Oom tak ada di rumah. Ayolah Tante, ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan.
Atau kuketuk saja pintunya, lalu aku masuk ?
Ah jangan. Itu kurang ajar, namanya.
Tubuh indah itu sendirian di kamar.
Buah dada putih itu tak ada yang mengelusnya.
Kelamin berambut halus itu tak ada yang memasukinya malam ini.
Kenapa engkau tidak ke luar ?
Barangkali Tante memang tidak membutuhkannya. Paling tidak malam ini.
Ya, kalau ia butuh tentunya akan mendekatiku.
Jam 10, belum ada tanda-tanda.
Aku putuskan, malam ini memang Tante tak mau diganggu. Biar sajalah. Toh besok siang, sore, atau malam masih ada kesempatan. Oom Ton menginap di Bandung dua malam. Yah, besok sajalah.
Tapi aku ingin malam ini!
Aku ingin malam ini kelaminku masuk dan kemudian mengeluarkan cairan dengan nikmat!
Kemudian aku mengeluarkan penisku yang sudah tegang itu. Kata Tante punyaku ini besar. Entah benar-benar besar, aku tak tahu. Sebab aku belum pernah lihat punya orang lain.
Karena tidak ada Oom Ton, aku jadi makin berani menggoda Tanteku. Seperti waktu sarapan tadi. Aku mengelus-elus bahu dan lengan atasnya yang terbuka di meja makan. Bahkan mencium pipinya.
âHati-hati, Toâ
âYa, Tante, Kan saya lihat-lihat keadaan duluâ
âMar ada di belakangâ katanya.
âTanteâ
âEhm ?â
âTarto sayang Tanteâ
âAku udah ada yang punya, Toâ katanya sambil mencubit pahaku. Aku senang.
âYa. Pokoknya saya sayangâ Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku ini.
âSemalam Tante ke mana. Saya tunggu-tungguâ
âYa. Tante tahu, kamu nonton TV. Kamu masuk kamar jam 10 âkan ? Masaâ mau terus-terusanâ. Aku lega, Tante tak tahu perbuatanku semalam yang menyelinap ke kamar Mbak Mar.
âIya dong. Mumpung ada kesempatan. Sekarang juga saya mauâ kataku nakal.
âGila, kamu To. Awas jangan sampai mengganggu sekolahmu!â
âHabis Tante betul-betul menggemaskanâ Aku ngaceng lagi!
âUdah ah, berangkat sana, nanti telatâ
âTapi nanti lagi ya Tante, janji duluâ
âLihat dulu nantiâ
Bagaimana tidak mengganggu sekolah, seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan apa yang akan kuperbuat nanti bersama Tante.
bagaimana ? Fresh kan cerita ngentot nya semoga bisa menghibur
0 comments